"Nggak ngerti umure wes, sejak (penjajahan) Jepang saya kelas lima SD sudah diajari membatik sama orangtua," kata mbah Kulsum di rumah cucunya Dwi Rahayu, Karangrejo, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (21/4/2016).
Mbah Kulsum berkunjung berkunjung ke rumah cucunya di Karangrejo karena sedang menyiapkan 40 hari kepergian suami cucunya Dwi Rahayu. Sosok nenek yang kerap dipanggil Mbah Acum oleh keluarganya ini sederhana, berpakaian kebaya dan menggunakan kain yang lusuh.
Meski dikenal sebagai pembatik dia mengaku sayang menggunakan batik tulisnya untuk dipakai sehari--hari. "Sayang, pakai ini (beli) Rp 50 ribu kalau kotor nggak apa-apa," tuturnya.
Senyum kerap tersungging di wajahnya ketika membahas batik. Mbah Acum tampak mencintai batik yang menjadi hobi sekaligus mata pencahariannya.
"Mbah mbatik pakai kayu kaya di Yogya, dulu waktu masih gadis ikut penataran di Yogya diajak Dinas nggak bayar malah diberi uang," kenang Mbah Acum.
"Dulu dari Tumenggungan (rumah Mbah Acum) berangkat 20 orang sekarang tinggal mbah sendiri. Karena yang lain sudah meninggal," imbuhnya.
Mbah Acum mengenang kala itu dia bersemangat membatik karena mendapat cerita pembatik Yogya dengan modal sedikit bisa meraup untung dan menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi.
"Katanya orang Yogya kalau bisa mbatik ini lumayan, harga canting Rp 100 tapi bisa menyekolahkan anak sampai kuliah," tambahnya.
Harga batik yang diproduksinya berkisar antara Rp 250-300 ribu. Dalam satu bulan jumlah yang bisa diproduksi tidak pernah sama tergantung mood dari simbah.
"Mbah mbatik satu hari terkadang satu dilihat (motifnya) kaya gajah oling satu hari satu, kalau sekar jagad tiga hari dua. Tapi (mengerjakankannya) duduk satu hari. Saya nggak ngiderkan (menjajakan), orang datang ke rumah pesan. Nggak ada ukuran," jelasnya.
Keahlian membatik didapatkannya secara otodidak. Kecintaan terhadap batik memang ditularkan oleh orangtuanya yang juga berasal dari generasi pembatik. Terlebih di daerah rumah Mbah Acum di Tumenggungan kala itu memang dikenal sebagai sentra pembatik.
"Bikin batik saya nggak pakai potlot (pensil) langsung (dari canting). Macam-macam saya bisa bikin batik (motif) sekar jagat, gajah oling, kangkung setingkes, jajang sebarong, complongan, sembruk cacing, dilem sempleh dan mot pitik," katanya.
Foto: Aditya MD/detikcom
|
Awal proses belajar dimulai dengan menggambar bulatan di kain dengan canting. Kemudian diisi sendiri oleh Mbah Acum.
"Maunya orangtua bikinen seperti nol bunder-bunder habis itu saya diajari ngisi seperti contoh. Mbah dan Mak yang ngajarin semua, sekeluarga mbatik semua. Orang Tumenggungan dulu mbatik semua, sekarang tinggal mbah aja," ujarnya.
Keahlian Mbah Acum membatik menurun pada cucunya Dwi Rahayu. Dia berkeinginan mengajari cucunya yang seorang lagi untuk membatik.
"Mau jualan nggak saya bolehin, orang mbatik itu kan santai. Kecuali kalau pas ngobati (pewarnaan) memang kotor. Lumayan hasilnya, banyak yang beli," tandasnya.
Sedangkan Mbah Acum mengaku tidak lagi mengajari orang lain untuk membatik. Keluarganya melarang Mbah Acum, karena orang-orang itu hanya menarik keuntungan padahal tak pernah sedikitpun simbah meminta bayaran.
"Yang pengen belajar banyak tapi nggak urus, sembarangan kalau sudah kaya lupa. Kalau orang lain saya bilang itu besar kepala," katanya.
Sementara itu, cucu kedua Mbah Acum, Dwi Rahayu menambahkan bahwa pembatik tradisional semakin langka. Dia berharap pemerintah kabupaten (pemkab) memberi perhatian untuk pembatik seperti neneknya.
"Pembatik kaya simbah ini susah dan mungkin hampir punah. Pemerintah kabupaten tolong dilestarikanlah, diangkat untuk generasi ke depan," kata Dwi.
Dwi memuji simbahnya sebagai sosok yang ulet dan tekun. Bahkan semangatnya masih membara meski di usia senja.
"Simbah nglorot (melepas lilin malam) saja kuat sendiri. Pakai drum itu, padahal saya saja nggak kuat lho. Pakai tangan padahal yang lain aja pakai kayu," kata Dwi yang disambut senyum dari simbah.
Belum ada tanggapan untuk "Pembatik Tulis Tradisional Tertua di Banyuwangi Kisah Mbah Acum"
Posting Komentar